Undang-Undang Narkotik No. 22/1997 dan Undang-Undang Psikotropika No. 5/1997 mendefinisikan penyalah guna narkoba adalah seseorang yang menggunakan narkoba (narkotik, psikotropika, dan bahan adiktif lain) di luar dari kepentingan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan.
Dan pecandu narkoba adalah seorang penyalahguna narkoba yang telah mengalami ketergantungan terhadap satu atau lebih narkotik, psikotropika, dan bahan adiktif lain (narkoba), baik secara fisik maupun psikis.
Ketergantungan narkoba adalah dorongan untuk menggunakan narkoba terus-menerus, dan apabila pemakaiannya dihentikan gejala putus zat. Berat ringannya gejala putus zat bergantung pada jenis narkoba, dosis yang digunakan, serta lama pemakaian. Makin tinggi dosis yang digunakan dan makin lama pemakaiannya, makin hebat gejala sakitnya.
Selain mengatur sangsi hukum, undang-undang itu juga menyebutkan adanya kewajiban bagi pecandu narkoba untuk menjalani pengobatan dan perawatan. Proses terapi dan rehabilitasi yang dilakukan dapat dilakukan lembaga pemerintah.
Tidak hanya perawatan dan pengobatan, pecandu narkoba pun mempunyai kewajiban melaporkan statusnya sebagai pecandu narkoba kepada instansi terkait. Tujuan pelaporan ini sebagai usaha memberikan hak perawatan dan pengobatan yang harus diberikan kepada pecandu narkoba.
Dalam buku, Apakah Saya Pecandu Narkoba, dr. Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana menyebutkan ketergantungan atau kecanduan narkoba dapat dikatakan sebagai penyakit, lebih tepatnya disebut penyakit adiksi, dan kronis.
Berbagai tanda mengikuti penyakit kronis ini, seperti gangguan fisik, psikologis, dan sosial akibat dari pemakaian narkoba secara terus-menerus dan berlebihan. Gangguan medis atau fisik berarti terjadi gangguan fungsi atau penyakit pada organ-organ tubuh.
Gangguan ini tergantung dari jenis narkoba yang digunakan dan cara menggunakannya, seperti penyakit hati, jantung, dan HIV/AIDS. Gangguan psikologis meliputi rasa cemas, sulit tidur, depresi, dan paranoia.
Biasanya, wujud gangguan fisik dan psikologis bergantung pada jenis narkoba yang digunakan. Dan kemudian, gangguan sosial meliputi kesulitan dengan orang tua, teman, sekolah, pekerjaan, keuangan, dan berurusan dengan pihak berwenang.
Biasanya, wujud gangguan fisik dan psikologis bergantung pada jenis narkoba yang digunakan. Dan kemudian, gangguan sosial meliputi kesulitan dengan orang tua, teman, sekolah, pekerjaan, keuangan, dan berurusan dengan pihak berwenang.
Pemakai
Menurut dr. Lydia, istilah pemakaian narkoba secara terus-menerus tidak berarti harus setiap hari. Pemakaian tiap akhir pekan sudah dapat dikatakan terus-menerus. Pemakaian narkoba secara berlebihan tidak menunjukkan jumlah atau dosisnya, tetapi yang paling penting adalah akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkoba tersebut.
Seperti halnya gangguan pada salah satu fungsi, seperti fisik, psikologis atau sosial. Pada tahap pemakaian ia masih dapat menghentikannya. Jika telah terjadi ketergantunggan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, betapapun ia berusaha. Satu caranya adalah menghentikan sama sekali pemakaiannya dan atau mati.
Masihkan anda ingin mencoba?
Pertanyaan itu justru terkadang makin membuat banyak kalangan penasaran. Remaja dengan rasa penasaran, masa pancaroba selalu ingin mencoba hal-hal baru. Jika salah jalan, mereka akan mencoba narkoba.
Dari penyusuran dan wawancara penulis, dan berbagai buku bacaan, umumnya pemula mengonsumsi narkoba karena rasa kompromi, yaitu sikap tidak tegas menentukan sikap menentang narkoba dan mau bergaul dengan pemakai narkoba. Lalu coba-coba, muncul perasaan segan untuk menolak tawaran atau ajakan teman untuk mencoba memakai narkoba, lalu ikut-ikutan memakai narkoba.
Setelah proses kompromi, akan terjadi rasa toleransi, dengan memakai beberapa kali, tubuh sudah menjadi toleran, dan muncul peningkatan dosis pemakaian. Tahap selanjutnya adalah eskalasi, yaitu peningkatan dosis dan tambah jenis narkoba yang dipakai dengan dosis yang terus bertambah. Maka pengguna memasuki tahap habituasi, yaitu tahapan pemakaian narkoba sudah menjadi kebiasaan yang mengikat, dan terjadi adiksi-dependensi, yaitu keterikatan pada narkoba sudah mendalam, tidak dapat terlepas.
Kecanduan
Kecanduan dalam diri seseorang dapat dilihat dengan berbagai tahap, yaitu apabila terdapat rasa keinginan kuat secara kompulsif untuk memakai narkoba berkali-kali, lalu muncul kesulitan mengendalikan penggunaan narkoba, baik dalam usaha menghentikannya ataupun mengurangi tingkat pemakaian. Ciri lain, terjadi gejala putus zat jika pemakaiannya dihentikan atau jumlah pemakakain dikurangi.
Lalu ciri toleransi, jumlah narkoba yang diperlukan makin besar agar diperoleh pengaruh yang sama terhadap tubuh. Mengabaikan alternatif kesenangan lain dan meningkatnya waktu yang digunakan memperoleh narkoba. Terus memakai, meski disadari akibat yang merugikan-merusak tersebut.
Banyak kalangan pengguna menyangkal, menolak mengakui adanya masalah, padahal ditemukan narkoba dan perangkat pemakaiannya serta gejala-gejala yang diakibatkan.
Para pecandu tidak bisa berhenti begitu saja. Jika berhenti pemakaian, timbul gejala putus obat. Putus obat, akan berdampak pada intoksikasi, yaitu keracunan oleh narkoba. Di sini terjadi kerusakan pada organ tubuh dan otak, hilang kesadaran. Dan dapat terjadi kerusakan otak dan menjadi gila atau kematian.
Meski masih dalam perdebatan dan kajian dalam UU Narkotik dan Psikotropika dijelaskan bagi pecandu narkoba yang tertangkap tangan pihak berwenang tidak langsung harus masuk rumah pesakitan. Namun, keputusan tersebut dapat dilakukan hakim yang memeriksa perkara pecandu narkoba tersebut. Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkoba dapat memutuskan atau memerintahkan pecandu tersebut untuk menjalani pengobatan dan perawatan.
Penegakan Hukum
Akan tetapi, muncul persoalan baru, ketika aparat penegak hukum yang berada di lapangan. Dengan adanya toleransi-toleransi menyelamatkan “pecandu”, pemakai (korban, red). Hal itu dijadikan metode, para pengedar untuk berhadapan dengan hukum. Ketika tertangkap, mereka mengaku sebagai pemakai. Atau bisa jadi, justru dijadikan sarana bermain penegak hukum yang nakal.
Misalnya sang bandar narkoba tertangkap, untuk meringankan proses hukuman, bermain dengan pasal, kolusi dengan penegak hukum, dan menggeser pasal bandar narkoba, menjadi pasal pengguna. Atau bisa jadi menjadi pasal tidak tahu apa-apa sehingga meringankan proses hukum atau bebas demi hukum.
Ironisnya adalah makin maju dan canggih praktek hukum, makin besar pula peluang mendayagunakan secara “antikeadilan”. Perangkat hukum, proses hukum dan sekalian personelnya, justru dimobilisasikan kecanggihanya hanya untuk melayani keinginan dan kepentingan sendiri (money oriented). Kita bisa melihat ini secara jujur terhadap realitas, dan hati nurani. Hukum yang ada kini seperti kendaraan yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik bahkan niat kejahatan (Puji Hartanto, 2005).
Maaf jika penulis berpikiran naif. Itu semata adalah karena melihat hukum semata-mata secara etis dan moral. Yang melihat hukum sebagai dewa penyelamat bagi ketidakadilan, kebobrokan dan kejahatan di dunia ini.
Keinginan kita adalah kedatangan hukum, datanglah ketenangan, ketenteraman, kesejahteraan, kedamaian dan kemakmuran. Keadaan permainan hukum yang dipertontonkan saat itu menimbulkan suatu ironi besar, bahkan di negara yang dikatakan hukumnya maju seperti di Amerika Serikat pun tidak luput dari kepentingan-kepentingan.
Seperti perjalanan seorang mantan hakim dari Amerika, Rothwax dengan menuangkan kegundahan dalam sebuah buku yang ia beri judul Guilty-The Collapse Of The Criminal Justice System. Orang sudah menggunakan hukum dan pengadilan tidak untuk mencari keadilan, tetapi mencari kemenangan. Jangan tanya siapa yang disalahkan, tapi di mana kita harus berperan mengatasi persoalan hukuman Narkoba. Kita ajak penegak hukum, para bandar narkoba, pengguna atau kita sendiri, untuk kembali ke jalan yang benar.
Juniardi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !